PENGERTIAN DOSA
1.1 DOSA-DOSA BESAR
Mengenai jumlah dosa-dosa besar ini, berdasarkan hadits terdapat tujuh
macam dosa besar. Dan dari hadits yang lain pula tiga diantaranya adalah yang
terbesar. Tetapi masih banyak hadits shohih yang membicarakan dosa-dosa besar
ini lebih dari tujuh macam. Dalam hal ini. Rosululloh sendiri dalam setiap
kesempatan hanya menyebut macam dosa yang dianggap relevan pada waktu itu. Dan
beliau memang belum pernah merinci berbagai macam dosa dengan suatu pengertian
yang membatasi.
Terdapat satu hadits yang diriwayatkan oleh Abdulloh bin Abbas, ia
menceritakan bahwa Rosululloh ditanya seseorang mengenai dosa-dosa besar :
Apakah jumlahnya hanya tujuh macam ? Rosululloh menjawab : dosa-dosa besar itu
berjumlah tujuh puluh macam (dalam riwayat lain disebutkan sampai tujuh ratus
macam perbuatan yang dianggap dosa besar).
Namun dalam kesempatan ini, penulis hanya menjelaskan sebagian dari
dosa-dosa besar itu, diantaranya adalah :
1.
Syirik
(menyekutukan Alloh)
2.
Durhaka kepada
kedua orang tua
3.
Berkata bohong
4.
Sihir,
5.
membunuh jiwa
yang diharamkam Alloh (membunuhnya) kecuali dengan cara yang benar,
6.
makan riba',
7.
memakan
harta anak yatim,
8.
lari dari medan
pertempuran,
9.
menuduh zina
pada perempuan mukmin yang baik-baik yang terhindar dari zina
1.2Pengertian Riba
Riba secara bahasa
bermakna; ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba
juga berarti tumbuh dan membesar.[1][1] Menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil[2][2]. Kata riba juga berarti bertumbuh menambah atau berlebih.
Al-riba atau ar-rima makna asalnya ialah tambah tumbuh dan subur. Adapun
pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang
diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu
berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang disyaratkan dalam
Al-Qur’an. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of lending
money at an exorbitant or illegal rate of interest” sementara para ulama’ fikih mendefinisikan riba dengan “
kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya”.
Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul
akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik
uang pada saat utang jatuh tempo[3][3].
A. Jenis-Jenis Riba:
a. Riba Qardh, Suatu manfaat atau tingkat kelebihan
tertentu yang disaratkan terhadap yang berhutang (Muqtaridh).
b. Riba Jahiliyah, Utang dibayar lebih
dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu
yang ditentukan.
c. Riba fadhl, Pertukaran antar barang sejenis
dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk jenis barang ribawi.
d. Riba nasi’ah
e. Penangguhan, penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antar yang diserahkan saat ini
dengan yang diserahkan kemudian.
1.3 Memakan Harta Anak Yatim
Anak yatim adalah anak yang belum dewasa (mandiri) yang
kehilangan dari salah satu dari kedua orangtuanya atau kedua-duanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (Q.S Annisa: 10)
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa” (Q.S Al-An’am : 152, dan Q.S Al-Israa’: 34)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
“Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu. maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah is makan harta itu dengan cara yang baik” (Q.S. An-Nisa’: 6)
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (Q.S Annisa: 10)
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa” (Q.S Al-An’am : 152, dan Q.S Al-Israa’: 34)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
“Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu. maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah is makan harta itu dengan cara yang baik” (Q.S. An-Nisa’: 6)
Mengasuh anak yatim artinya mengurus
segala kebutuhan dan kemaslahatannya; mulai dari urusan makan, pakaian, dan
mengem-bangkan hartanya jika anak yatim itu memiliki harta. Sedangkan jika anak
yatim itu tidak memiliki harta maka pengasuh anak yatim memberikan nafkah dan
pakaian untuknya demi mengharapkan wajah Allah. Adapun maksud lafazh ‘baik
masih kerabatnya atau bukan’ dalam hadits di atas adalah bahwa si pengasuh itu
bisa jadi kakeknya, saudaranya, ibunya, pamannya, ayah tirinya, bibinya, atau
pun kerabat-kerabat yang lain. Dan bisa juga orang lain yang tidak ada hubungan
kekerabatan dengannya sama sekali.
1.4 Berkata Dusta
Dusta adalah memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik
dengan ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan
kepala atau mengangguk.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah
menyebutkan dusta sebagai salah satu tanda kemunafikan. Beliau bersabda yang
artinya, “Tanda orang yang munafik ada tiga: jika berkata dia dusta,
jika berjanji dia ingkari, dan jika diamanahi dia khianat.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Dusta
yang Diperbolehkan & Tidak Diperbolehkan
Secara asalnya, semua dusta terlarang dalam Islam. Namun,
sebagai agama pertengahan yang tidak berlebihan dan mengurang-ngurangi, Islam
memiliki pengecualian dalam berdusta. Karena, terkadang berdusta dibutuhkan
pada waktu-waktu tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memberikan
keringanan untuk berdurta dalam tiga keadaan: untuk memperbaiki hubungan antara
suami istri, memperbaiki hubungan antara dua orang, dan kebohongan dalam
peperangan. Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidak
halal berdusta kecuali pada tiga keadaan: seorang laki-laki berbicara kepada
istrinya, dusta dalam peperangan, dan dusta untuk memperbaiki hubungan antara
manusia.” (HR. At-Tirmidzi dari Asma’ binti Yazid radhiyallahu
‘anha, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Para ulama sepakat bolehnya berdusta pada tiga keadaan ini.
Dusta dalam Bergurau
Lalu bagaimana dengan dusta untuk bergurau? Apakah termasuk yang dikecualikan? Jawabannya terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya,
“Celaka orang yang berbicara kemudian berdusta untuk membuat tertawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari sahabat Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, hadits ini hasan menurut Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Meninggallan berkata dusta meskipun hanya gurauan adalah kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda yang maknanya,
“Seorang hamba tidak beriman secara sempurna hingga dia meninggalkan dusta meskipun hanya bergurau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani, dari sahabat Abu Hurairah rahimahullahu, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan, “Derajat hadits ini shahih lighairih” di dalam kitab Shahih At-Targhib)
Dusta kepada Anak
Bagaimana dengan berdusta kepada seorang anak? Meskipun hanya berdusta kepada anak kecil agar datang kepadanxa, hal itu tidak diperbolehkan di dalam agama Islam. Rasul shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda:
“Barangsiapa mengatakan kepada seorang anak, ‘Kesini nak, aku beri kamu.’ Lalu dia tidak memberinya, maka ini adalah sebuah kedustaan.” (HR. Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Para ulama sepakat bolehnya berdusta pada tiga keadaan ini.
Dusta dalam Bergurau
Lalu bagaimana dengan dusta untuk bergurau? Apakah termasuk yang dikecualikan? Jawabannya terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya,
“Celaka orang yang berbicara kemudian berdusta untuk membuat tertawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari sahabat Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, hadits ini hasan menurut Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Meninggallan berkata dusta meskipun hanya gurauan adalah kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda yang maknanya,
“Seorang hamba tidak beriman secara sempurna hingga dia meninggalkan dusta meskipun hanya bergurau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani, dari sahabat Abu Hurairah rahimahullahu, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan, “Derajat hadits ini shahih lighairih” di dalam kitab Shahih At-Targhib)
Dusta kepada Anak
Bagaimana dengan berdusta kepada seorang anak? Meskipun hanya berdusta kepada anak kecil agar datang kepadanxa, hal itu tidak diperbolehkan di dalam agama Islam. Rasul shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda:
“Barangsiapa mengatakan kepada seorang anak, ‘Kesini nak, aku beri kamu.’ Lalu dia tidak memberinya, maka ini adalah sebuah kedustaan.” (HR. Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
No comments:
Post a Comment