Sunday, June 12, 2016

Penjelasan sistem ekonomi isla


Sistem Ekonomi Islam
Secara sederhana bisa dikatakan, bahwa sistem ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam. Sumber dari keseluruhan nilai tersebut sudah tentu Al-Quran, As-Sunnah,  ijma’  dan qiyas  Nilai-nilai sistem ekonomi Islam ini merupakan bagian integral dari keseluruhan ajaran Islam yang komperhensif dan telah dinyatakan Allah Swt. sebagai ajaran yang sempurna.
Karena didasarkan pada nilai-nilai Ilahiah, sistem ekonomi Islam tentu saja akan berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang didasarkan pada ajaran kapitalisme, dan juga berbeda dengan sistem ekonomi sosialis yang didasarkan pada ajaran sosialisme. Memang, dalam beberapa hal, sistem ekonomi Islam merupakan kompromi antara kedua sistem tersebut, namun dalam banyak hal sistem ekonomi Islam berbeda sama sekali dengan kedua sistem tersebut. Sistem ekonomi Islam memiliki sifat-sifat baik dari kapitalisme dan sosialisme, namun terlepas dari sifat buruknya.
A.   Prinsip Ekonomi Islam
Prinsip-prinsip ekonomi Islam secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.   Sumber daya dipandang sebagai amanah Allah kepada manusia, sehingga pemanfaatannya haruslah bisa dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

perbedaan sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan ekonomi islam Sistem ekonomi kapitalis


Sistem Ekonomi Kapitalis adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, manjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi.
Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas malakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara.
Sistem Ekonomi Sosialis
      Sistem Ekonomi Sosialis adalah suatu sistem perekonomian yang memberikan kebebasan yang cukup besar kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan ekonomi tetapi dengan campur tangan pemerintah. Pemerintah masuk ke dalam perekonomian untuk mengatur tata kehidupan perekonomian negara serta jenis-jenis perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara seperti air, listrik, telekomunikasi, gas, dan lain sebagainya.

sejarah perkembangan perbankan di Indonesia


1.      Periode Perkembangan Perbankan Indonesia Secara garis besar periode perkembangan perbankan indonesia terbagai beberapa tahun sebagai berikut
Dari tahun 1988-1996
Dari tahun 1997-1998
Dari tahun 1999-2002
sampai sekarang.
Periode 1988 – 1996
Dikeluarkannya paket deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 88), antara lain berupa relaksasi ketentuan permodalan untuk pendirian bank baru telah menyebabkan munculnya sejumlah bank umum berskala kecil dan menengah. Pada akhirnya, jumlah bank umum di Indonesia membengkak dari 111 bank pada Oktober 1988 menjadi 240 bank pada tahun 19941995, sementara jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) meningkat drastis dari 8.041 pada tahun 1988 menjadi 9.310 BPR pada tahun 1996 2. Periode 1997 – 1998 Pertumbuhan pesat yang terjadi pada periode 1988 – 1996 berbalik arah ketika memasuki periode 1997 – 1998 karena terbentur pada krisis keuangan dan perbankan. Bank Indonesia, Pemerintah, dan juga lembagalembaga internasional berupaya keras menanggulangi krisis tersebut, antara lain dengan melaksanakan rekapitalisasi perbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank dan melakukan pengambilalihan kepemilikan terhadap 7 bank lainnya. Secara spesifik langkahlangkah yang dilakukan untuk menanggulangi krisis keuangan dan perbankan tersebut adalah:

Sunday, August 30, 2015

PENAFSIRAN FUQAHA TENTANG KLASIFIKASI AQAD


   PENAFSIRAN FUQAHA TENTANG KLASIFIKASI AQAD
 Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasai jenis-jenis akad. Secara garis besar adapun pengelompokan macam-macam aqad, antara lain:
1.         Akad menurut tujuannya, yaitu:
Ø  Akad Tabarru, yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT. Atau dalam redaksi lain akad Tabarru (gratuitous countract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut nonprofit transaction (transaksi nirlaba). Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf, Wasiat, Ibra’, Wakalah, Kafalah, hawalah, rahn,dan qirad.
Ø  Akad Tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah telah dipenuhi semuanya. Atau dalam redaksi lain akad Tijari (conpensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna’ dan Ijarah Muntahiyah bittamlik serta mudharabah dan musyarakah.
2.          Akad Menurut Keabsahannya, Yaitu:
Ø  Akad Sahih (Valid Contract) yaitu akad yang memenuhi semua rukun dan syaratnya. Akibat hukumnya adalah perpindahan barang misalnya dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual.
Ø  Akad Fasid (Voidable Contract) yaitu akad yang semua rukunnya terpenuhi, namun ada syarat yang tidak terpenuhi. Belum terjadi perpindahan barang dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual. Sebelum adanya usaha untuk melengkapi syarat tersebut. Dengan kata lain akibat hukumnya adalah Mauquf (terhenti dan tertahan untuk sementara).
Ø  Akad Bathal (Void Contract) yaitu akad dimana salah satu rukunnya tidak terpenuhi dan otomatis syaratnya juga tidak dapat terpenuhi. Akad sepeti ini tidak menimbulkan akibat hukum perpindahan harta (harta/uang) dan benda kepada kedua belah pihak.

3.         Akad Menurut Namanya
Ø  Akad bernama (al-u`qud al-musamma) Yang dimaksud dengan akad bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad yang lain. Para fukaha  berbeda pendapat tentang jumlah akad bernama. Salah satu contoh menurut al-Kasani (w 587/1190) aqad bernama meliputi sebagai berikut:  al-ijarah, al-istishna, al-bai`, al-kafalah, al-hiwalah, al-wakalah, ash-shulh, asy-syirkah, al-murabahah, al-mudharabah, al-hibah, ar-rahn, al-muzara`ah, al-mutsaqah, al-wadhi`ah, al-a`riyah, al-qismah, al-washaya, al-qardh.
Ø  Aqad tidak bernama(al-`uqud gair al-musamma), akad tidak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh dibawah satu nama tertentu. Dalam kata lain, akad tidak bernama adalah akad yang tidak ditentukan oleh pembuat hukum namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Contoh akad tidak bernama adalah perjanjian, penerbitan, periklanan, dan sebagainya.

4.         Akad Menurut Kedudukannya
Ø  Akad Pokok (al-‘aqd al-ashli) adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain. Seperti: akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya.
Ø  Akad asesoir (a-‘aqd at-tabi’) adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut. Seperti: penanggungan (al-kafalah) dan akad gadai (ar-rahn).

5.         Akad Dari Segi Unsur Tempo Di Dalam Aqad
Ø  Akad bertempo (al-‘aqd az-zamani) adalah akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Seperti: akad sewa-menyewa, akad penitipan, akad simpan pakai, dan sebagainya.
Ø  Akad tidak bertempo (al-‘aqd al-fauri) adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.

6.         Akad Dari Segi Unsur Tempo Di Dalam Aqad
Ø  Akad konsesual (al-`aqd ar-radha`i) Akad konsensual dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada kesepkatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Yang termasuk akad konsensual seperti jual beli, sewa menyewa, dan utang piutang.
Ø  Akad formalitas(al-`aqd asy-syakli), Akad formalitas adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh pembuat akad, apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah. Misalnya adalah akad di luar lapangan hukum harta kekayaan, yaitu akad nikah dimana diantara formalitas yang disyariatkan adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.
Ø  Akad riil (al-`aqd al-`aini), Akad riil adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan tunai objek akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan. Ada lima macam akad yang termasuk dalam kategori akad jenis ini, yaitu hibah, pinkam pakai, penitipan, kredit (utang), dan akad gadai. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah hukum Islam yang menyatakan ”Tabaru’ (donasi) baru terjadi dengan pelaksanaan riil” (al yatimmu at-tabarru` illa bi qabdh).

7.         Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’
Ø  Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak dilarang untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal jual beli, sewa menyewa, mudharabah, dan sebagainya.
Ø  Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad jual beli janin atau akad yang bertentangan dengan ahlak Islam (kesusilaan) dan ketertiban umum seperti sewa menyewa untuk melakukan kejahatan.

8.         Akad menurut dari mengikat dan tidak mengikatnya
Ø  Akad mengikat (al-‘aqd al-lazim) adalah akad dimana apabila semua rukun dan syaratnya telah terlaksana maka akad tersebut akan mengikat secara penuh dan masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa perssetujuan pihak lain. Akan ini dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu: Pertama, akad mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu akad dimana salah satu pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat membatalkan tanpa persetujuan pihak pertama seperti akad kafalah (penanggungan) dan akad gadai (ar-rahn).
Ø  Akad tidak mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat (terbuka untuk di-faskh), seperti akad Wakalah(pemberi kuasa), syirkah (persekutuan) dan sebagainya. (2) akad yang tidak mengikat karena didalamnya terdapat khiyar bagi para pihak.









9.         Akad menurut dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan
Akad Nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya aqad tersebut.
Akad Mauquf adalah kebalikan dari akad nafiz, yaitu akad yang tidak dapat secara langsung dilaksankan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, tetapi masih tergantung (mauquf) kepada adanya retifikasi (ijasah) dari pihak berkepentingan.
10.     Akad menurut tanggungan
Ø  ‘aqd adh-dhaman adalah akad yang mengalihkan tanggungan resiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut, sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.
Ø  ‘aqd al-‘amanah adalah akad dimana barang yang dialihkan melalui barang tersebut merupakan amanah dari tangan penerima barang tersebut, sehingga dia tidak berkewajiban menanggung resiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesegajaan dan melawan hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan, akad pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).[1]



[1] Djamil  Fathurrahman, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrul Zaman, (Bandung, PT Cipta Adiya Bhakti: 2001), hal. 71-78

Tuesday, July 7, 2015

2.2 Teori belajar sebelum abad ke-20


Teori belajar sebelum abad ke-20

Ada tiga teori yang terkenal, yaitu: (1) teori disiplin mental, (2) teori pengembangan alamiah (natural unfoldment) atau self-actualization, dan (3) teori  apersepsi.  Ketiga teori ini mempunyai satu ciri yang sama, yaitu teori-teori ini dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen. Ini berarti bahwa dasar orientasinya ialah filosofi atau spekulatif (Dahar, 1988)

a.  Teori disiplin mental (Plato, Aristoteles)

            Teori ini menganggap bahwa dalam belajar, mental siswa didisiplinkan atau dilatih. Guru melatih para siswa, dan setiap hari diberi tes, dan para siswa yang belum pandai harus kembali sesudah jam sekolah untuk dilatih lagi

b.            Teori perkembangan alamiah (natral unfoldment)

            Menurut teori ini, anak akan berkembang secara alamiah. Pengembang teori ini adalah: Jean J. Roussseau (1712-1778); ahli pendidik Swiss Heinrich Pestalozzi (1746-1827);  ahli filsafat, pedidik dan penemu gerakan “Kindegarten” dari  Jerman Friedrich Froebel (1782-1852). Teori ini berlawanan dengan teori disiplin mental.

c. Teori apersepsi (Johan  Friedrich Herbart (1776-1841)

             Menurut teori ini, belajar merupakan suatu proses terasosiasinya gagasan-gagasan baru dengan gagasan-gagasan lama yang sudah membentuk pikiran (mind). Teori ini berlawanan dengan teor disiplin mental dan teori alamiah.

Monday, July 6, 2015

makalah pengertian dosa besar


PENGERTIAN DOSA

1.1 DOSA-DOSA BESAR
                Mengenai jumlah dosa-dosa besar ini, berdasarkan hadits terdapat tujuh macam dosa besar. Dan dari hadits yang lain pula tiga diantaranya adalah yang terbesar. Tetapi masih banyak hadits shohih yang membicarakan dosa-dosa besar ini lebih dari tujuh macam. Dalam hal ini. Rosululloh sendiri dalam setiap kesempatan hanya menyebut macam dosa yang dianggap relevan pada waktu itu. Dan beliau memang belum pernah merinci berbagai macam dosa dengan suatu pengertian yang membatasi.
                Terdapat satu hadits yang diriwayatkan oleh Abdulloh bin Abbas, ia menceritakan bahwa Rosululloh ditanya seseorang mengenai dosa-dosa besar : Apakah jumlahnya hanya tujuh macam ? Rosululloh menjawab : dosa-dosa besar itu berjumlah tujuh puluh macam (dalam riwayat lain disebutkan sampai tujuh ratus macam perbuatan yang dianggap dosa besar).
                Namun dalam kesempatan ini, penulis hanya menjelaskan sebagian dari dosa-dosa besar itu, diantaranya adalah :
1.            Syirik (menyekutukan Alloh)
2.            Durhaka kepada kedua orang tua
3.            Berkata bohong
4.            Sihir,
5.            membunuh jiwa yang diharamkam Alloh (membunuhnya) kecuali dengan cara yang benar,
6.            makan riba',
7.            memakan harta  anak yatim,
8.            lari dari medan pertempuran,
9.            menuduh zina pada perempuan mukmin yang baik-baik yang terhindar dari zina

1.2Pengertian Riba
Riba secara bahasa bermakna; ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.[1][1] Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil[2][2]. Kata riba juga berarti bertumbuh menambah atau berlebih. Al-riba atau ar-rima makna asalnya ialah tambah tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang disyaratkan dalam Al-Qur’an. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest”  sementara para ulama’ fikih mendefinisikan riba dengan “ kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya”. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo[3][3].
A.     Jenis-Jenis Riba:
a.       Riba Qardh, Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disaratkan terhadap yang berhutang (Muqtaridh).
b.       Riba Jahiliyah, Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditentukan.
c.       Riba fadhl, Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang ribawi.
       d.      Riba nasi’ah
e.      Penangguhan, penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antar yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

1.3 Memakan Harta Anak Yatim
Anak yatim adalah anak yang belum dewasa (mandiri) yang kehilangan dari salah satu dari kedua orangtuanya atau kedua-duanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (Q.S Annisa: 10)
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa” (Q.S Al-An’am : 152, dan Q.S Al-Israa’: 34)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
“Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu. maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah is makan harta itu dengan cara yang baik” (Q.S. An-Nisa’: 6)
Mengasuh anak yatim artinya mengurus segala kebutuhan dan kemaslahatannya; mulai dari urusan makan, pakaian, dan mengem-bangkan hartanya jika anak yatim itu memiliki harta. Sedangkan jika anak yatim itu tidak memiliki harta maka pengasuh anak yatim memberikan nafkah dan pakaian untuknya demi mengharapkan wajah Allah. Adapun maksud lafazh ‘baik masih kerabatnya atau bukan’ dalam hadits di atas adalah bahwa si pengasuh itu bisa jadi kakeknya, saudaranya, ibunya, pamannya, ayah tirinya, bibinya, atau pun kerabat-kerabat yang lain. Dan bisa juga orang lain yang tidak ada hubungan kekerabatan dengannya sama sekali.

1.4 Berkata Dusta
Dusta adalah memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan kepala atau mengangguk.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah menyebutkan dusta sebagai salah satu tanda kemunafikan. Beliau bersabda yang artinya, “Tanda orang yang munafik ada tiga: jika berkata dia dusta, jika berjanji dia ingkari, dan jika diamanahi dia khianat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dusta yang Diperbolehkan & Tidak Diperbolehkan
Secara asalnya, semua dusta terlarang dalam Islam. Namun, sebagai agama pertengahan yang tidak berlebihan dan mengurang-ngurangi, Islam memiliki pengecualian dalam berdusta. Karena, terkadang berdusta dibutuhkan pada waktu-waktu tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memberikan keringanan untuk berdurta dalam tiga keadaan: untuk memperbaiki hubungan antara suami istri, memperbaiki hubungan antara dua orang, dan kebohongan dalam peperangan. Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidak halal berdusta kecuali pada tiga keadaan: seorang laki-laki berbicara kepada istrinya, dusta dalam peperangan, dan dusta untuk memperbaiki hubungan antara manusia.” (HR. At-Tirmidzi dari Asma’ binti Yazid radhiyallahu ‘anha, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Para ulama sepakat bolehnya berdusta pada tiga keadaan ini.
Dusta dalam Bergurau
Lalu bagaimana dengan dusta untuk bergurau? Apakah termasuk yang dikecualikan? Jawabannya terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya,

“Celaka orang yang berbicara kemudian berdusta untuk membuat tertawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari sahabat Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, hadits ini hasan menurut Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Meninggallan berkata dusta meskipun hanya gurauan adalah kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda yang maknanya,
“Seorang hamba tidak beriman secara sempurna hingga dia meninggalkan dusta meskipun hanya bergurau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani, dari sahabat Abu Hurairah rahimahullahu, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan, “Derajat hadits ini shahih lighairih” di dalam kitab Shahih At-Targhib)
Dusta kepada Anak
Bagaimana dengan berdusta kepada seorang anak? Meskipun hanya berdusta kepada anak kecil agar datang kepadanxa, hal itu tidak diperbolehkan di dalam agama Islam. Rasul shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda:
Barangsiapa mengatakan kepada seorang anak, ‘Kesini nak, aku beri kamu.’ Lalu dia tidak memberinya, maka ini adalah sebuah kedustaan.” (HR. Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)