belajar membuat program sederhana menggunakan delphi,c++, pascal,matlab,javal serta berbagai hal menarik lainnyar yang bisa di akses secara gratis
Saturday, October 3, 2015
Sunday, August 30, 2015
PENAFSIRAN FUQAHA TENTANG KLASIFIKASI AQAD
PENAFSIRAN FUQAHA TENTANG KLASIFIKASI AQAD
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat
banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasai
jenis-jenis akad. Secara garis besar adapun pengelompokan macam-macam aqad, antara lain:
1.
Akad
menurut tujuannya, yaitu:
Ø
Akad Tabarru, yaitu
akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan
ridha dan pahala dari Allah SWT. Atau dalam redaksi lain akad Tabarru
(gratuitous countract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut nonprofit
transaction (transaksi nirlaba). Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah:
Hibah, Wakaf, Wasiat, Ibra’, Wakalah, Kafalah, hawalah, rahn,dan qirad.
Ø
Akad Tijari, yaitu akad
yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan
syarat telah telah dipenuhi semuanya. Atau dalam redaksi lain akad Tijari
(conpensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for
profit transaction. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah,
Salam, Istishna’ dan Ijarah Muntahiyah bittamlik serta mudharabah dan musyarakah.
2.
Akad Menurut Keabsahannya, Yaitu:
Ø
Akad Sahih (Valid
Contract) yaitu akad yang memenuhi semua rukun dan syaratnya. Akibat hukumnya
adalah perpindahan barang misalnya dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual.
Ø
Akad Fasid (Voidable
Contract) yaitu akad yang semua rukunnya terpenuhi, namun ada syarat yang tidak
terpenuhi. Belum terjadi perpindahan barang dari penjual kepada pembeli dan
perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual. Sebelum adanya usaha
untuk melengkapi syarat tersebut. Dengan kata lain akibat hukumnya adalah
Mauquf (terhenti dan tertahan untuk sementara).
Ø
Akad Bathal (Void
Contract) yaitu akad dimana salah satu rukunnya tidak terpenuhi dan otomatis syaratnya
juga tidak dapat terpenuhi. Akad sepeti ini tidak menimbulkan akibat hukum
perpindahan harta (harta/uang) dan benda kepada kedua belah pihak.
3.
Akad
Menurut Namanya
Ø
Akad bernama (al-u`qud al-musamma) Yang
dimaksud dengan akad bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh
pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku
terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad yang lain. Para fukaha berbeda pendapat tentang jumlah akad bernama.
Salah satu contoh menurut al-Kasani (w 587/1190) aqad bernama meliputi sebagai berikut:
al-ijarah, al-istishna, al-bai`, al-kafalah, al-hiwalah, al-wakalah,
ash-shulh, asy-syirkah, al-murabahah, al-mudharabah, al-hibah, ar-rahn,
al-muzara`ah, al-mutsaqah, al-wadhi`ah, al-a`riyah, al-qismah, al-washaya,
al-qardh.
Ø
Aqad tidak
bernama(al-`uqud gair al-musamma), akad tidak bernama
adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh dibawah satu
nama tertentu. Dalam kata lain, akad tidak bernama adalah akad yang tidak
ditentukan oleh pembuat hukum namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan
tersendiri mengenainya. Contoh akad tidak bernama adalah perjanjian,
penerbitan, periklanan, dan sebagainya.
4.
Akad
Menurut
Kedudukannya
Ø
Akad Pokok (al-‘aqd
al-ashli) adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung
kepada suatu hal lain. Seperti: akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam
pakai, dan seterusnya.
Ø
Akad asesoir (a-‘aqd
at-tabi’) adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi
tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan
tidak sahnya akad tersebut. Seperti: penanggungan (al-kafalah) dan akad gadai
(ar-rahn).
5.
Akad
Dari
Segi Unsur Tempo Di Dalam Aqad
Ø
Akad bertempo (al-‘aqd
az-zamani) adalah akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi,
dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Seperti: akad
sewa-menyewa, akad penitipan, akad simpan pakai, dan sebagainya.
Ø
Akad
tidak bertempo (al-‘aqd al-fauri) adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan
bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi seketika
tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.
6.
Akad
Dari
Segi Unsur Tempo Di Dalam Aqad
Ø
Akad konsesual (al-`aqd ar-radha`i) Akad
konsensual dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada
kesepkatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Yang
termasuk akad konsensual seperti
jual beli, sewa menyewa, dan utang piutang.
Ø
Akad formalitas(al-`aqd asy-syakli), Akad
formalitas adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang
ditentukan oleh pembuat akad, apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad
tidak sah. Misalnya adalah akad di luar lapangan hukum harta kekayaan, yaitu
akad nikah dimana diantara formalitas yang disyariatkan adalah kehadiran dan
kesaksian dua orang saksi.
Ø
Akad riil (al-`aqd al-`aini), Akad
riil adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan tunai objek
akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum
apabila belum dilaksanakan. Ada lima macam akad yang termasuk dalam kategori
akad jenis ini, yaitu hibah, pinkam pakai, penitipan, kredit (utang), dan akad
gadai. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah hukum Islam yang menyatakan
”Tabaru’ (donasi) baru terjadi dengan pelaksanaan riil” (al yatimmu at-tabarru` illa bi qabdh).
7.
Dilihat
dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’
Ø
Akad masyru’ adalah
akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak dilarang untuk
menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal jual beli, sewa
menyewa, mudharabah, dan sebagainya.
Ø
Akad terlarang adalah
akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad jual beli janin atau
akad yang bertentangan dengan ahlak Islam (kesusilaan) dan ketertiban umum
seperti sewa menyewa untuk melakukan kejahatan.
8.
Akad
menurut dari mengikat dan tidak mengikatnya
Ø
Akad mengikat (al-‘aqd
al-lazim) adalah akad dimana apabila semua rukun dan syaratnya telah terlaksana
maka akad tersebut akan mengikat secara penuh dan masing-masing pihak tidak
dapat membatalkannya tanpa perssetujuan pihak lain. Akan ini dibedakan lagi
menjadi dua macam yaitu: Pertama, akad mengikat kedua belah pihak seperti akad
jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu
akad dimana salah satu pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa
persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat membatalkan tanpa
persetujuan pihak pertama seperti akad kafalah (penanggungan) dan akad gadai (ar-rahn).
Ø
Akad tidak mengikat
adalah akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan
pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) akad yang memang sifat
aslinya tidak mengikat (terbuka untuk di-faskh), seperti akad Wakalah(pemberi
kuasa), syirkah (persekutuan) dan sebagainya. (2) akad yang tidak mengikat
karena didalamnya terdapat khiyar
bagi para pihak.
9.
Akad
menurut dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan
Akad Nafiz adalah akad
yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya aqad tersebut.
Akad
Mauquf adalah kebalikan dari akad nafiz, yaitu akad yang tidak dapat secara
langsung dilaksankan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, tetapi
masih tergantung (mauquf) kepada adanya retifikasi (ijasah) dari pihak
berkepentingan.
10.
Akad menurut
tanggungan
Ø
‘aqd adh-dhaman adalah akad yang mengalihkan
tanggungan resiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan
sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut, sehingga kerusakan barang
yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya
sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.
Ø
‘aqd al-‘amanah adalah akad dimana barang yang
dialihkan melalui barang tersebut merupakan amanah dari tangan penerima barang
tersebut, sehingga dia tidak berkewajiban menanggung resiko atas barang
tersebut, kecuali kalau ada unsur kesegajaan dan melawan hukum. Termasuk akad
jenis ini adalah akad penitipan, akad pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).[1]
[1]
Djamil
Fathurrahman, Hukum Perjanjian
Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrul Zaman,
(Bandung, PT Cipta Adiya Bhakti: 2001), hal. 71-78
Tuesday, July 7, 2015
2.2 Teori belajar sebelum abad ke-20
Teori belajar sebelum abad ke-20
Ada tiga teori yang terkenal, yaitu: (1) teori disiplin
mental, (2) teori pengembangan alamiah (natural unfoldment) atau
self-actualization, dan (3) teori
apersepsi. Ketiga teori ini
mempunyai satu ciri yang sama, yaitu teori-teori ini dikembangkan tanpa
dilandasi eksperimen. Ini berarti bahwa dasar orientasinya ialah filosofi atau
spekulatif (Dahar, 1988)
a. Teori disiplin
mental (Plato, Aristoteles)
Teori ini
menganggap bahwa dalam belajar, mental siswa didisiplinkan atau dilatih. Guru
melatih para siswa, dan setiap hari diberi tes, dan para siswa yang belum
pandai harus kembali sesudah jam sekolah untuk dilatih lagi
b. Teori
perkembangan alamiah (natral unfoldment)
Menurut
teori ini, anak akan berkembang secara alamiah. Pengembang teori ini adalah:
Jean J. Roussseau (1712-1778); ahli pendidik Swiss Heinrich Pestalozzi
(1746-1827); ahli filsafat, pedidik dan
penemu gerakan “Kindegarten” dari Jerman
Friedrich Froebel (1782-1852). Teori ini berlawanan dengan teori disiplin
mental.
c. Teori apersepsi (Johan
Friedrich Herbart (1776-1841)
Menurut
teori ini, belajar merupakan suatu proses terasosiasinya gagasan-gagasan baru
dengan gagasan-gagasan lama yang sudah membentuk pikiran (mind). Teori ini
berlawanan dengan teor disiplin mental dan teori alamiah.
Monday, July 6, 2015
makalah pengertian dosa besar
PENGERTIAN DOSA
1.1 DOSA-DOSA BESAR
Mengenai jumlah dosa-dosa besar ini, berdasarkan hadits terdapat tujuh
macam dosa besar. Dan dari hadits yang lain pula tiga diantaranya adalah yang
terbesar. Tetapi masih banyak hadits shohih yang membicarakan dosa-dosa besar
ini lebih dari tujuh macam. Dalam hal ini. Rosululloh sendiri dalam setiap
kesempatan hanya menyebut macam dosa yang dianggap relevan pada waktu itu. Dan
beliau memang belum pernah merinci berbagai macam dosa dengan suatu pengertian
yang membatasi.
Terdapat satu hadits yang diriwayatkan oleh Abdulloh bin Abbas, ia
menceritakan bahwa Rosululloh ditanya seseorang mengenai dosa-dosa besar :
Apakah jumlahnya hanya tujuh macam ? Rosululloh menjawab : dosa-dosa besar itu
berjumlah tujuh puluh macam (dalam riwayat lain disebutkan sampai tujuh ratus
macam perbuatan yang dianggap dosa besar).
Namun dalam kesempatan ini, penulis hanya menjelaskan sebagian dari
dosa-dosa besar itu, diantaranya adalah :
1.
Syirik
(menyekutukan Alloh)
2.
Durhaka kepada
kedua orang tua
3.
Berkata bohong
4.
Sihir,
5.
membunuh jiwa
yang diharamkam Alloh (membunuhnya) kecuali dengan cara yang benar,
6.
makan riba',
7.
memakan
harta anak yatim,
8.
lari dari medan
pertempuran,
9.
menuduh zina
pada perempuan mukmin yang baik-baik yang terhindar dari zina
1.2Pengertian Riba
Riba secara bahasa
bermakna; ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba
juga berarti tumbuh dan membesar.[1][1] Menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil[2][2]. Kata riba juga berarti bertumbuh menambah atau berlebih.
Al-riba atau ar-rima makna asalnya ialah tambah tumbuh dan subur. Adapun
pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang
diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu
berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang disyaratkan dalam
Al-Qur’an. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of lending
money at an exorbitant or illegal rate of interest” sementara para ulama’ fikih mendefinisikan riba dengan “
kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya”.
Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul
akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik
uang pada saat utang jatuh tempo[3][3].
A. Jenis-Jenis Riba:
a. Riba Qardh, Suatu manfaat atau tingkat kelebihan
tertentu yang disaratkan terhadap yang berhutang (Muqtaridh).
b. Riba Jahiliyah, Utang dibayar lebih
dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu
yang ditentukan.
c. Riba fadhl, Pertukaran antar barang sejenis
dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk jenis barang ribawi.
d. Riba nasi’ah
e. Penangguhan, penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antar yang diserahkan saat ini
dengan yang diserahkan kemudian.
1.3 Memakan Harta Anak Yatim
Anak yatim adalah anak yang belum dewasa (mandiri) yang
kehilangan dari salah satu dari kedua orangtuanya atau kedua-duanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (Q.S Annisa: 10)
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa” (Q.S Al-An’am : 152, dan Q.S Al-Israa’: 34)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
“Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu. maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah is makan harta itu dengan cara yang baik” (Q.S. An-Nisa’: 6)
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (Q.S Annisa: 10)
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa” (Q.S Al-An’am : 152, dan Q.S Al-Israa’: 34)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ
“Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu. maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah is makan harta itu dengan cara yang baik” (Q.S. An-Nisa’: 6)
Mengasuh anak yatim artinya mengurus
segala kebutuhan dan kemaslahatannya; mulai dari urusan makan, pakaian, dan
mengem-bangkan hartanya jika anak yatim itu memiliki harta. Sedangkan jika anak
yatim itu tidak memiliki harta maka pengasuh anak yatim memberikan nafkah dan
pakaian untuknya demi mengharapkan wajah Allah. Adapun maksud lafazh ‘baik
masih kerabatnya atau bukan’ dalam hadits di atas adalah bahwa si pengasuh itu
bisa jadi kakeknya, saudaranya, ibunya, pamannya, ayah tirinya, bibinya, atau
pun kerabat-kerabat yang lain. Dan bisa juga orang lain yang tidak ada hubungan
kekerabatan dengannya sama sekali.
1.4 Berkata Dusta
Dusta adalah memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik
dengan ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan
kepala atau mengangguk.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah
menyebutkan dusta sebagai salah satu tanda kemunafikan. Beliau bersabda yang
artinya, “Tanda orang yang munafik ada tiga: jika berkata dia dusta,
jika berjanji dia ingkari, dan jika diamanahi dia khianat.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Dusta
yang Diperbolehkan & Tidak Diperbolehkan
Secara asalnya, semua dusta terlarang dalam Islam. Namun,
sebagai agama pertengahan yang tidak berlebihan dan mengurang-ngurangi, Islam
memiliki pengecualian dalam berdusta. Karena, terkadang berdusta dibutuhkan
pada waktu-waktu tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memberikan
keringanan untuk berdurta dalam tiga keadaan: untuk memperbaiki hubungan antara
suami istri, memperbaiki hubungan antara dua orang, dan kebohongan dalam
peperangan. Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidak
halal berdusta kecuali pada tiga keadaan: seorang laki-laki berbicara kepada
istrinya, dusta dalam peperangan, dan dusta untuk memperbaiki hubungan antara
manusia.” (HR. At-Tirmidzi dari Asma’ binti Yazid radhiyallahu
‘anha, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Para ulama sepakat bolehnya berdusta pada tiga keadaan ini.
Dusta dalam Bergurau
Lalu bagaimana dengan dusta untuk bergurau? Apakah termasuk yang dikecualikan? Jawabannya terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya,
“Celaka orang yang berbicara kemudian berdusta untuk membuat tertawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari sahabat Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, hadits ini hasan menurut Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Meninggallan berkata dusta meskipun hanya gurauan adalah kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda yang maknanya,
“Seorang hamba tidak beriman secara sempurna hingga dia meninggalkan dusta meskipun hanya bergurau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani, dari sahabat Abu Hurairah rahimahullahu, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan, “Derajat hadits ini shahih lighairih” di dalam kitab Shahih At-Targhib)
Dusta kepada Anak
Bagaimana dengan berdusta kepada seorang anak? Meskipun hanya berdusta kepada anak kecil agar datang kepadanxa, hal itu tidak diperbolehkan di dalam agama Islam. Rasul shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda:
“Barangsiapa mengatakan kepada seorang anak, ‘Kesini nak, aku beri kamu.’ Lalu dia tidak memberinya, maka ini adalah sebuah kedustaan.” (HR. Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Para ulama sepakat bolehnya berdusta pada tiga keadaan ini.
Dusta dalam Bergurau
Lalu bagaimana dengan dusta untuk bergurau? Apakah termasuk yang dikecualikan? Jawabannya terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang artinya,
“Celaka orang yang berbicara kemudian berdusta untuk membuat tertawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari sahabat Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, hadits ini hasan menurut Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Meninggallan berkata dusta meskipun hanya gurauan adalah kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda yang maknanya,
“Seorang hamba tidak beriman secara sempurna hingga dia meninggalkan dusta meskipun hanya bergurau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani, dari sahabat Abu Hurairah rahimahullahu, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan, “Derajat hadits ini shahih lighairih” di dalam kitab Shahih At-Targhib)
Dusta kepada Anak
Bagaimana dengan berdusta kepada seorang anak? Meskipun hanya berdusta kepada anak kecil agar datang kepadanxa, hal itu tidak diperbolehkan di dalam agama Islam. Rasul shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda:
“Barangsiapa mengatakan kepada seorang anak, ‘Kesini nak, aku beri kamu.’ Lalu dia tidak memberinya, maka ini adalah sebuah kedustaan.” (HR. Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Saturday, July 4, 2015
TEORI PERMINTAAN
A.TEORI PERMINTAAN
1.1. Pengertian
Permintaan
Permintaan
merupakan suatu harapan atau suatu keinginan. Sedangkan Permintaan dalam Ilmu
Ekonomi Permintaan merupakan keinginan yang disertai kemampuan untuk membeli
barang dan jasa pada berbagai tingkat harga dalam waktu tertentu. Oleh karena
itu Permintaan ini berkaitan dengan tiga hal penting, yaitu: Jumlah barang yang
diminta sebagai jumlahbarang yang diinginkan Keinginan tersebut didukung oleh
kemampuan untuk membeli Jumlah barang yang diminta dalam satuan waktu, misalnya
perhari, perminggu, perbulan, dan pertahun.
1.2. Faktor yang
Mempengaruhi Permintaan
Secara
umum, Faktor-faktor yang mempengruhi permintaan terhadap suatu jenis barang
dipengaruhi oleh hal-hal berikut ini:
a.
Harga Barang itu Sendiri
b.
Harga Barang lain yang Bersubstansi
c.
Pendapatan Masyarakat
d.
Selera Masyarakat
e.
Jumlah Penduduk
f.
Ramalan Masa Depan
Dalam
permintaan ada yang disebut dengan Fungsi Permintaan. Fungsi permintaan sesungguhnya
menunjukan hubungan antara jumlah barang yang diminta Q, sebagai Variabel tidak
bebas ( dependent variable) dan semua Variabel bebas ( independent variable)
yang mempengaruhi besarnya variabel tidak bebeas tersebut. Funngsi permintaan
dapat ditulis sebagai berikut:
Keterangan :
Q = Jumlah barang yang
diminta
= Harga barang A
= Barang A
= Harga barang A – Z
Tingkat Pendapatan
Konsumen
= Advertensi
= Jumlah penduduk
Apabila , I , T , dan N
dianggap tetap
maka fungsi permintaan
menjadi =F( )
1.3. Hukum Permintaan
dan Kurva Permintaan
a. Hukum Permintaan
Hukum permintaan menyatakan
bahwa : “Apabila harga suatu barang naik, jumlah barang yang diminta cendrung
turun”. Adapun yang dimaksud dengan hal-hal lain adalah Variabel-variabel lain
yang dapat mempengaruhi jumlah barang yang diminta selin harga barang yang
bersangkutan. Contoh yang termasuk Variabel lain dalam hukum permintaan, yaitu
:
Tingkat pendapatan
konsumen
Selera konsumen
Harga barang lain
Jumlah penduduk
Advertesi
Dan variabel lain yang
dianggap mempengaruhi
b. Kurva Permintaan
kurva Permintaan hanya
menunjukan hubungan antara Variabel harga dan jumlah barang yang diminta dimana
hubungan tersebut bersifat Negatif, yaitu Apabila harga barang naik, jumlah
barang yang diminta cenderung turun dan Apabla harga barang turun, jumlah
barang yang diminta cenderung naik. Contoh :disi Harga per(kg) Rp Jumlah barang
yang diminta ton Per hari
3000,00 250
3500,00 2000
4000,00 175
4500,00 100
Berikut ini adalah cara
menggambarkan persamaan fungsi permintaan Diketahui fungsi permintaan =200-10P ingat
lereng(b) pada kurva permintaan harus negative sehingga nilai b pada persamaan
=200-10P Adalah -10
Jawab
=200-10P
=0 Maka = 200-10P
0 = 200-10P
10P= 200-0
P = =20
JADI P = 20
Jika P=0 Maka =200-10P
=200-10(0)
=200
JADI =200
B. Teori Penawaran
2.1. Pengertian dan
Determinan PenawaranDalam Ilmu Ekonomi, penawaran diartikan sebagai jumlah
barang da jasa yang dipaosok oleh Produsen kepasar (konsumen) baik berupa
barang maupun jasa pada berbagai tingkat harga dalam periode waktu tertentu Determinan
– determinan dasar penawaran
Harga barang itu
sendiri
Harga barang yang
bersubstansi
Biaya produksi
Tingkat teknologi yang
digunakan
Tujuan perusahaan
Pemikiran mengenai naik
atau turunnya harga dimasa yang akan dating Jumlah penjual dipasar
2.3. Hukum Penawaran
Hukum penawaran adalah
suatu pernyataan yang menjelaskan sifat perkaitan diantara harga suatu barang
dan jumlah barang tersebut ditawarkan para penjual. Hukum penawaran pada
dasarnya mengatakan bahwa “Makin tinggi harga suatu barang, jumlah barang yang
diminta cenderung banyak Begitupun sebaliknya. Hukum enawaran ini menghasilkan kurva
penawaran. Kurva penawaran dapat didefinisikan sebagai suatu kurva yang menunjukan
perkaitan antara harga suatu barang tertentu dan jumlah barang tersebut yang ditawarkan.
2.3. Fungsi Penawaran
Secara umum fungsi
penawaran dapatditulis sebagai berikut
Keterangan:
z
I = Jumlah faktor
produksi (input) yang tersedia
F = Keadaan Alam
X = Pajak
T = Teknologi
Dalam fungsi penawaran
tampak merupakan Variabel tidak bebas sedangkan Variabel-variabel lainnya
seperti ,I,F,X,T merupakan Variabel-variabel bebas. Artinya kalau salah satu
atau beberapadari variabel bebas berubah. Variabel tidak bebasnya pula akan
ikut berubah. Jika variabel lain (bukan harga barang bersangkutan) berubah maka
kurva penawaran akan bergeser kekiri atau kekanan. Jadi apabila harga barang
setinggi jumlah barang yang ditawarkan sebesar apabila harga barang naik
menjadi maka jumlah barang yang ditawarkan juga menjadi .
2.4. Persamaan Fungsi
Penawaran
Kurva penawaran
merupakan kurva yang menunjukan hubungan antara jumlah barang yang ditawrakan
dan harga yang bersangkutan. Hubungan tersebut dapat ditulis dalam bentuk persamaan
sebagai berikut :
Keterangan
=jumlah barang yang
ditawarkan
P = Harga
Jika harga barang naik,
jumlsh barang yang ditawarkan juga cenderung naik. Jika dirumuskan
dalam bentuk persamaan
linier.
Subscribe to:
Posts (Atom)